Di ujung malam yang tak kunjung reda,
Langkahku gontai, hati pun luka.
Angin berbisik lirih di telinga,
“Sudahlah, berhenti saja…”
Bayang harapan mulai memudar,
Digerus waktu, ditikam sadar.
Aku bertanya pada langit kelam,
Masih adakah cahaya di dalam?
Tangan gemetar, jiwa pun retak,
Seakan dunia tak lagi berpihak.
Namun di sela napas yang tersisa,
Ada suara kecil berkata, “Bisa.”
Bukan karena aku tak pernah jatuh,
Tapi karena aku belajar bangkit meski rapuh.
Hampir menyerah, ya, aku sempat,
Namun harapan tak pernah benar-benar tamat.
Di tepi senja aku berdiri,
menatap langit yang mulai pudar warnanya.
Langkahku berat,
napasku tersengal oleh beban yang tak kasat mata.
Pernah aku ingin berhenti —
menggulung mimpi, menutup hati,
karena lelah tak selalu tampak di wajah,
kadang hanya terasa di dada yang sesak.
Namun, di sela lirih doa yang gugur,
ada bisikan kecil dari dalam diri:
“Kau sudah sejauh ini,
mengapa berhenti di sini?”
Maka kugenggam kembali cahaya itu,
meski redup, meski nyaris padam.
Sebab aku tahu,
harapan tak selalu bersinar terang,
kadang hanya berkilau kecil —
tapi cukup untuk menerangi langkah pulang.
Di batas ini, cahaya memudar,
Langkah terasa berat, beban membesar.
Jalan yang kulalui penuh duri tajam,
Setiap hembusan napas terasa suram.
Suara kecil berbisik, "Sudah, berhenti saja,"
Menarik kakiku, ingin kubiarkan ia.
Tembok di depan tampak terlalu tinggi,
Energi yang tersisa kian mengering, mati.
Ingin kulepaskan genggaman erat ini,
Biarkan semua mimpi jatuh, tak berarti.
Hampir kuletakkan senjata perjuangan,
Menerima kegagalan, dalam keheningan.
Namun...
Dari celah sempit, seberkas kilau menusuk,
Mengingat alasan mengapa dulu aku menekuk
Lutut, berjanji untuk terus berjuang.
Bukan untuk menang, tapi agar tak terbuang
Waktu dan upaya yang t'lah kuberikan.
Ini bukan akhir, hanya persimpangan.
Satu detik lagi, tarik napas dalam,
Belum saatnya mengumumkan kalah total.
Jatuh tak mengapa, asal bangkit sekali lagi,
Hampir menyerah bukan berarti pasti.
Kupegang kembali keyakinan yang rapuh,
Mungkin esok, pintu baru terbuka penuh.
Jalan setapak terasa makin curam,
Lelah memeluk, langkah enggan diayun.
Beban di pundak tak lagi bisa ku tahan,
Cahaya di ujung jalan seolah punah.
Napas tersengal, debu mengisi dada,
Ingin kulepas semua, biarkan saja.
Suara bisikan halus datang menggoda:
"Sudah, hentikan saja perjuangan ini."
Di telapak tangan, kepalan kian longgar,
Menyerah tampak begitu mudah dan damai.
Sehelai harapan menipis, hampir pudar,
Tinggal satu tarikan napas, dan selesai.
Namun...
Saat mata terpejam, dan hati pasrah,
Terlintas wajah-wajah yang percaya.
Teringat janji yang belum tergapai,
Dan jauhnya sudah engkau melangkah.
Ini bukan akhir, ini hanya persimpangan,
Bukan tembok tebal, hanya kabut sesaat.
Sedikit lagi, sedikit lagi bertahan,
Ubah hampir menyerah, jadi kekuatan yang tersemat.
Jangan biarkan api kecil itu mati,
Tarik napas dalam, buka mata, lihatlah.
Mungkin hari ini memang bukan hari,
Tapi esok masih ada lembaran yang indah.
Berjuanglah sekali lagi, untuk diri sendiri.
Kau pantas mendapat yang lebih dari hening ini.
Baca juga Puisi; Tenang, puisi lainnya, Puisi Cinta Obat Galau

No comments:
Note: Only a member of this blog may post a comment.